Oleh: Badrul Tamam
Keutamaan ilmu tidaklah kita ragukan lagi besarnya. Dengannya, Allah anugerahkan rasa takut kepada para penuntutnya. Karena ketika seorang hamba tahu tentang Rabb-nya, maka ia akan semakin berharap dan takut kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama (orang berilmu).” (QS. Fathir: 28)
Dan sesungguhnya kebahagiaan dunia dan akhirat hanya tidak dapat diraih kecuali dengan ilmu. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّة
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya)
Namun, tidak semua orang lancar dalam menempuh jalan ini. Syetan senantiasa berusaha merusak aktifitas yang agung ini dengan berbagai cara. Di tambah lagi adanya nafsu syahwat para penuntut ilmu yang belum ditundukkan semakin menambah bencana dalam meraih keutamaan agung ini.
Pada tulisan ini kami akan sebutkan sepuluh bencana yang menghalangi seorang murid dalam menuntut ilmu. Kesepuluh bencana ini kami sarikan dari tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad al-Sadlan dalam kitabnya, Ma’alim Fi Thariq Thalab Al-‘Ilmi sebagai berikut:
1. Salah niat dalam menuntut ilmu
Sesungguhnya niat adalah dasar, rukun, serta penentu suatu amal. Apabila niat salah dan rusak, maka amal yang dikerjakan akan ikut salah dan rusak, sekadar dengan rusaknya niat.
Jika niat menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah tercampur dengan niatan-niatan kotor seperti ingin tampil, terkenal, atau menguasai majlis, pastilah hal ini akan menjadi penghalang baginya dalam menuntut ilmu.
Karenanya, bagi penuntut ilmu hendaknya mengikhlaskan naitnya untuk mencari wajah Allah semata. Namun apabila dalam perjalanan syetan membisikkan niatan-niatan jahat maka ia harus menghilangkannya dan membersihkan kotoran itu dari dirinya.
2. Ingin terkenal dan ingin tampil
Ingin dikenal dan ingin tampil merupakan penyakit ganas yang sering menyerang para menuntut ilmu. Tidak selamat darinya kecuali orang yang dijaga oleh Allah Ta’ala. Imam al-Syatibi dalam al-I’tisham berkata, “Sesuatu yang paling terakhir hilang dari hati orang-orang shalih adalah keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk tampil.”
Apabila niat seorang penuntut ilmu ingin terkenal namanya, ingin disebut-sebut dan ingin selalu dihormati di mana saja ia berada dan berjalan, dan tidak ada yang dia inginkan kecuali hal itu, maka ia telah berada pada posisi yang sangat berbahaya. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya orang pertama kali yang akan diadili pada hari kiamat adalah tiga orang: . . . . . (hingga sabda beliau) . . . Dan orang yang mempelajari ilmu, membacakannya dan membaca Al-Qur’an. Ia dihadapkan kepada Allah. Allah memberitahukan kepadanya akan nikmat-nikmat-Nya dan ia pun mengetahui-Nya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan dengan nikma-nikmat tersebut?” Ia menjawab, “Saya mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah berkata kepadanya, “Kamu dusta, sesungguhnya kamu mempelajari ilmu agar kamu dikatakan sebagai seorang ulama. Kamu mempelajari Al-Qur’an agar kamu disebut sebagai Qurra’ (Ahli membaca Al-Qur’an), itu semua telah dikatakan untukmu.” Kemudian Allah memerintahkan (untuk mengadzabnya) maka ia pun diseret wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Para ulama salaf adalah orang-orang yang paling menjauhi keinginan untuk dikenal lalu dipuji. Bisyr bin Harits berkata, “Tidak bertakwa kepada Allah orang yang ingin dikenal.” (Siyar A’lam Nubala’: 11/216)
Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata, “Aku ingin tinggal di pinggiran kota Makkah sehingga saya tidak dikenal. Sesungguhnya aku diuji dengan terkenalnya namaku.” Ketika Imam Ahmad mendengar bahwa orang-orang menyebut-nyebut namanya ia berkata, “Semoga ini bukan merupakan ujian bagiku.” (Siyar A’lam Nubala’: 11/210)
Para ulama salaf adalah orang-orang yang paling menjauhi keinginan untuk dikenal lalu dipuji.
3. Lalai menghadiri majelis ilmu
Para ulama salaf mengatakan bahwa ilmu itu didatangi bukan mendatangi. Namun kini ilmu mendatangi kita dan tidak didatangi kecuali beberapa saja.
Sesungguhnya menghadiri majelis ilmu terdapat dua keberuntungan: Mendapatkan ilmu dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Karena menuntut ilmu termasuk ibadah yang sangat mulia dan agung. Karenanya Allah Ta’ala menurunkan ketenangan bagi siapa yang gemar menghadiri majelis ilmu dan melimpahkan rahmat kepada mereka. Sementara para malaikat akan menaungkan sayapnya bagi mereka dan memintakan ampun untuk mereka.
4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan
Alasan ini dijadikan oleh syetan sebagai sarana menghalangi jalan menuntut ilmu. Berapa banyak orang yang sudah dinasihati dan didorong untuk menuntut ilmu, tapi syetan menggodanya dengan alasan ini.
Orang yang beralasan dengan kesibukannya pada pekerjaan atau yang lainnya sehingga membuat dirinya meninggalkan majelis ilmu adalah termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan kesempatan mencari ilmu. Sedangkan orang-orang yang hatinya dibuka oleh Allah, ia akan mengatur waktunya dan menggunakannya sebaik mungkin sehingga kesibukannya untuk mencari kebutuhan hidup tidak sampai memalingkannya dari menuntut ilmu.
Orang yang beralasan dengan kesibukannya pada pekerjaan atau yang lainnya sehingga membuat dirinya meninggalkan majelis ilmu adalah termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan kesempatan mencari ilmu.
5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil
Orang yang tidak mampu memanfaatkan waktu kecilnya untuk menuntut ilmu maka ketika sudah besar akan menyesal. Saat sudah tua, akan banyak kesibukan, pekerjaan, dan tamu yang datang ke rumahnya sehingga pikirannya bertumpuk. Pikirannya tidak mampu digunakan untuk focus belajar sebagimana ketika masih kecil, yang saat itu belum banyak kesibukan. Karenanya Imam Al-Hasan al-Bashri berkata, “Belajar hadits di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.”
Namun demikian bukan berarti seseorang boleh berputus asa untuk belajar ketika tidak memanfaatkan waktu mudanya untuk mencari ilmu. Imam Al-Bukhari menasihatkan, “Dan (tuntutlah ilmu walaupun) setelah kalian tua, karena para sahabat Nabi belajar pada saat mereka tua.”
Sesungguhnya seluruh umut adalah kesempatan untuk mencari ilmu, karena thalabul ilmi adalah ibadah. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Dan beribadahlah kepada Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (maut).” (QS. Al-Hijr: 99)
6. Enggan mencari ilmu
Di antara sebab yang menjadikan seseorang malas dan enggan menuntut ilmu adalah kesibukannya mengikuti informasi terkini dan memantau peristiwa yang sedang terjadi.
Sesungguhnya seluruh problem kehidupan hanya bisa di atasi dengan ilmu. Biar tidak ngawur, maka ilmu harus ada untuk membimbingnya. Sementara orang yang lebih memantau berita dan informasi terkini namun tidak memiliki kematangan ilmu dien, maka dia akan menyelesaikan masalah yang muncul dan yang di hadapinya dengan pandanganya yang pendek, jauh dari ilmu. Karenanya ia akan merugi karena kesalahan-kesalahannya dalam menyikapi segala persoalan yang muncul yang disebabkan kejahilan terhadap kebenaran.
Syaikhul Islam adalah orang yang paling tahu dengan keadaan yang terjadi saat itu dan mengetahui permasalahn yang terjadi di sekitarnya. Namun ia tetap mencari ilmu. Sehinga ketika banyak fitnah dan musibah di kala itu, beliau bisa mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat dan mendapatkan solusi secara syar’i dan tepat dari Al-Qur’an dan Sunnah serta dari berbagai disiplin ilmu.
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali ada obatnya. Dan tidaklah musibah terjadi kecuali ada jalan keluarnya dan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan ini adalah perkara pasti yang tidak perlu diragukan lagi.
7. Menilai baik diri sendiri
Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang ketika mendengar orang lain memujinya.
Memang, pujian manusia terhadap seorang mukmin merupakan kabar gembira yang Allah segerakan. Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tentang seseorang yang melakukan suatu kebaikan dan orang-orang melihatnya sehingga memujinya. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Itu adalah kabar gembira bagi orang beriman yang Allah berikan dengan segera.” (HR. Musli dalam kitab Al-Birr)
Namun hendaknya seorang mukmin berhati-hati dengan rasa gembira dan bangga jika dipuji dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Allah menceritakan sifat orang munafikin, “Dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 188)
Dan sesungguhnya merasa diri hebat dan sempurna adalah perbuatan tercela, kecuali pada beberapa perkara saja yang sesuai dengan syariat. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, karena Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. Al-Najm: 32)
Allah telah mencela ahli kitab dengan sifat buruk mereka yang sok suci dan hebat,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS. Al-Nisa’: 49)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian merasa diri kalian suci. Allah yang lebih tahu akan orang-orang yang berbuat baik di antara kalian.” (HR. Muslim)
Sesungguhnya merasa diri bagus dan suka dipuji termasuk salah satu pintu masuk syetan kepada hamba-hamba Allah. Karenanya, berhati-hatilah agar tidak termasuk orang yang bisa dikuasai syetan karena adanya sifat suka dipuji dan merasa hebat.
8. Tidak mengamalkan Ilmu
Setiap orang yang memiliki ilmu akan dimintai pertanggungjawaban atas ilmunya. Dan siapa yang memiliki ilmu dan tidak mengamalkannya maka keberkahan ilmu yang dimilikinya akan hilang. Dan Allah sangat mencela orang yang tidak mengamalkan ilmunya,
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaff: 3)
9. Putus asa dan rendah diri diri
Putus asa dan tidak percaya diri merupakan salah satu sebab tidak diperolehnya ilmu. Karenanya janganlah merasa rendah diri jika anda lemah hafalan, lemah pemahaman, lambat dalam membaca dan cepat lupa. Semua penyakit ini akan hilang jika anda meluruskan niat dan bersungguh-sungguh mencurahkan usaha.
Imam Al-Askari menceritakan tentang dirinya, “Ketika pertama kali menuntut ilmu, menghafal itu sangat susah bagiku. Lalu aku membiasakan untuk membaca syair Ru’bah yang berjudul, “Wa Qaaim al-A’maaqi Khaawii al-Mukhtaraqna" (Gelapnya kedalaman yang Tak Tertembus) dalam satu malam. Padahal syair tersebut hamper dua ratus bait.” (Al-Hatsts ‘ala Thalab al-Ilmi, Abu Hilal Al-Askari; 71)
Imam al-Bukhari pernah ditanya tentang obat lupa. Beliau menjawab, “Senantiasa membaca Kitab.”
Di samping niat yang lurus dan bersungguh-sungguh, juga harus dijauhi penyebab lemahnya hafalan, yaitu maksiat. Dan meninggalkan maksiat merupakan sarana terkuat untuk membantu kuatnya hafalan.
Imam Al-Syafi’i rahimahullaah pernah mengadu kepada gurunya, Waqi tentang buruknya hafalan beliau. Maka sang guru member arahan kepada muridnya ini agar meningalkan maksiat. Beliau mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.
10. Terbiasa menunda-nunda
Ibnu Qayyim rahimahullaah pernah menjelaskan tentang menunda-nunda dan berangan-angan, “Sesungguhnya berangan-angan itu adalah senjata utama Iblis (untuk menggoda manusia).” (Madarij Salikin: 1/456-457)
Abu Ishaq pernah berkata, “Dikatakan kepada salah seorang dari Bani Abdil Qais, nasihatilah aku! Maka ia berkata, “Hindarilah menunda-nunda pekerjaan.”
Al-Hasan pernah berkata, “Janganlah kamu menunda-nunda pekerjaan. Sesungguhnya anda adalah orang yang berada pada hari ini, bukan pada hari esok. Seandainya anda mendapati hari esok, maka tetaplah kamu seperti yang kemarin. Karena jika anda tidak mendapatkan hari esok, maka anda tidak akan menyesal dengan waktu yang telah anda gunakan hari ini.”
Karena itu bagi setiap orang yang ingin mendapatkan ilmu dan ingin berkepribadian orang yang berilmu, janganlah menyia-nyiakan sedikitpun dari waktunya. Dan para ulama salaf sangat serius dalam memperhatikan urusan waktu mereka sehingga apabila kita mau membaca tentangnya maka kita akan terheran-heran karena ketatnya mereka dalam memperhatikan waktu. Wallahu Ta’ala a’lam. (PurWD/voa-islam.com)
No comments:
Post a Comment