“Wahai Umar, demi zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, engkau belum beriman sepenuhnya sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Angin kota Madinah yang menyebarkan hawa dingin tetapi kering dan garang terasa menusuk hingga ke tulang. Matahari sejengkal demi sejengkal makin meninggi. Sementara dengan segala perang perasaan, malakul maut mulai mencabut nyawa Nabi SAW dari kepala.
Nabi SAW merasakan sakit tatkala nyawa beliau sampai ke pusat. Dahi dan sekujur wajahnya yang mulia bersimbah peluh. Urat-uratnya menegang dari detik ke detik. Sambil menggigit bibir, Nabi SAW berpaling kepada Malaikat Jibril. Matanya basah, cahayanya makin meredup. Kepada Jibril beliau berkata, “Ya Jibril, betapa sakit. Alangkah dahsyat derita sakaratul maut ini....”
Jibril cepat membuang mukanya. Hatinya bergolak melihat peristiwa itu. “Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apa engkau benci melihat mukaku?” tanya Nabi SAW dengan cemas. “Tidak, ya Rasulullah,” sahut petugas pembawa wahyu tersebut.
Dipegangnya tangan Nabi yang mulia itu, lalu ia berkata, “Siapakah yang tega hatinya menyaksikan kekasih Allah dalam keadaan semacam ini? Siapakah yang sampai hati melihat engkau dalam kesakitan?”
Agaknya rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur badan Nabi SAW menggigil. Wajahnya memutih dan urat-uratnya tambah menegang. Dalam penanggungannya yang amat sangat, Nabi SAW berkata, “Ya Rabbi, alangkah sakitnya. Ya Tuhanku, timpakanlah kesakitan sakaratul maut ini hanya kepadaku, dan jangan kepada umatku.”
Jibril tersentak. Begitu agungnya pribadi sang Terpilih. Dalam detik-detiknya yang paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan dirinya yang diminta. Melainkan kepentingan umatnya yang didahulukan. Andai kata Nabi Muhammad SAW menuntut agar kesakitan itu dicabut, pastilah Allah SWT akan mengabulkan permintaannya. Namun beliau lebih memilih permohonan agar derita itu tidak menimpa umatnya. Makhluk mana yang memiliki ketinggian budi seperti Baginda Nabi SAW?
Masih jelas dalam benak kita kisah tentang malaikat penjaga gunung yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk menghancurkan penduduk Thaif. Akan dibelah bumi, diguncangkan gempa, supaya mereka terbenam semua, sebagai balasan bagi tindak aniaya mereka kepada Nabi SAW. Namun, dengan kesabaran yang luar biasa, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan sekeras itu, wahai malaikat Allah. Siapa tahu, jika mereka belum mau beriman, anak-anaknya akan beriman? Dan jika anak-anaknya belum mau juga, kuharapkan cucu-cucu mereka akan menerima Islam sebagai agamanya.”
Sementara itu Malaikat Maut telah merenggut nyawa Baginda SAW sampai ke dada. Napasnya sudah mulai sesak. Tiba-tiba Nabi SAW dengan suara menggigil dan pandangan meredup menengok ke arah sahabat-sahabatnya dan berkata, “Uushiikum bisshalaati wa ma malakat aimanukum (Aku wasiatkan kepada kalian shalat dan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Peliharalah mereka baik-baik).”
Keadaan pun bertambah gawat. Semua sahabat yang hadir menundukkan kepala, saking tidak kuat menahan kesedihan. Badan Baginda SAW berubah menjadi dingin. Hampir seluruhnya tidak bergerak-gerak lagi. Matanya yang berkaca-kaca hanya membuka sedikit. Mata itu menatap ke langit-langit.
Pada saat menjelang akhir napas beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW menggerakkan bibirnya yang sudah membiru dua kali. Cepat-cepat ia mendekatkan telinganya ke bibir Nabi SAW. Ia mendengar Nabi memanggil-manggil, “Umatku... umatku...”
Setelah memanggil-manggil inilah Nabi SAW wafat pada Senin bulan Rabi’ul Awwal. Maka meledaklah tangis berkabung ke segenap penjuru. Seorang juru selamat telah mangkat. Cintanya kepada umat dibawanya hingga akhir hayat, dan akan dibawanya sampai ke padang mahsyar.
Lantas, bagaimana dengan kita, umatnya, yang justru sangat dicintainya? Berkat perjuangan beliau yang tiada lelah, kita dapat mereguk nikmat iman dan Islam. Tegakah kita mengabaikan cintanya?
Pernah suatu ketika dalam suatu riwayat beliau bersabda, “Sungguh aku merindukan mereka.”
Para sahabat terperanjat. Mereka cemburu, karena Rasulullah merindukan orang lain ketimbang mereka.
“Siapa gerangan yang engkau rindukan, ya Rasulullah? Apakah kami?” tanya mereka penasaran.
“Bukan. Kalian adalah sahabatku, kalian berjuang bersamaku. Tentunya aku mencintai kalian.”
“Apakah para malaiakat Allah?”
“Bukan...,” jawab Baginda.
“Lalu siapa, ya Rasulullah?”
“Mereka adalah umatku nanti. Mereka tidak pernah bertemu aku, tapi mereka mengikuti sunnah-sunnahku dengan penuh keimanan. Hati mereka dipenuhi kecintaan kepadaku.”
Siapakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Tiada lain adalah umatnya yang hidup berabad-abad setelah Rasulullah wafat. Di antaranya kita. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita mencintai beliau dengan benar? Kepada siapa kita belajar mencintai beliau?
Umar bin Khaththab
Contoh terbaik adalah para sahabat Rasulullah SAW. Mereka hidup pada masa Rasulullah dan menjadikan sirah beliau sebagai rambu dan pelita yang menerangi jalan di depan mereka. Menyadari pentingnya meneladani beliau, mereka pun mengikutinya dalam segala masalah, besar ataupun kecil. Mereka menimba, menikmati, dan berlindung di bawah keteladanan beliau.
Kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW melebihi kecintaan mereka kepada harta, istri, anak-anak, bahkan diri mereka sendiri. Suatu hari, di pagi hari, Umar bin Khaththab bertemu Rasulullah SAW. Rasulullah menyapa sahabatnya itu dengan sumringah, “Bagaiamana keadaanmu pagi ini, wahai sahabatku, Umar?”
“Alhamdulillah, ya Rasulullah, pagi ini aku dalam keadaan beriman.”
Rasulullah SAW bertanya lagi, “Siapa yang engkau lebih cintai, anak-anakmu atau aku?”
Umar menjawab, “Tentu saja anak-anakku, ya Rasulullah. Mereka adalah permata hatiku. Darah dagingku. Bagaimana aku tidak lebih mencintai mereka daripada dirimu?”
“Kalau begitu, engkau belum beriman dengan sepenuh hatimu, wahai sahabatku.”
Keesokan harinya, Sayyidina Umar bertemu kembali dengan Baginda Nabi, dan beliau bertanya lagi, “Bagaimana pagi ini, wahai sahabatku?” “Pagi ini aku dalam keadaan beriman, ya Rasulullah.”
“Lalu, mana yang lebih engkau cintai, dirimu sendiri atau aku?” tanya Rasulullah SAW.
“Ya Rasulullah, sungguh, engkau lebih aku cintai daripada hartaku dan keluargaku, kecuali diriku.”
“Wahai Umar, demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, engkau belum beriman sepenuhnya sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Hingga, suatu hari, Umar tergopoh-gopoh menjelang Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah... saat ini aku mencintai dirimu lebih dari segala-gelanya. Aku mencitaimu melebihi kecintaanku kepada diriku sendiri,” kata Umar sambil menangis haru.
Rasulullah SAW pun memeluk sahabatnya yang tercinta itu sambil berkata, “Sekarang, wahai Umar, sekarang...,” kata Rasulullah, yang maksudnya, saat itu keimanan Sayyidina Umar telah mencapai kesempurnaan.
Abu Bakar Shiddiq
Begitulah kecintaan sahabat kepada Raulullah SAW, yang mencerminkan kekukuhan iman dalam dada mereka. Seperti juga halnya Abu Bakar Shiddiq. Sahabat karib Rasulullah ini membuktikan rasa cintanya di saat-saat Rasulullah menghadapi masa-masa sulit. Yaitu ketika Rasulullah SAW menyiapkan diri untuk hijrah ke Yatsrib atau Madinah.
“Aku menemanimu, aku menemanimu, wahai Rasulullah!” kata Abu Bakar. Begitu pula di saat mereka sedang dikejar-kejar para pemuda Quraisy yang hendak membunuh mereka. Mereka bersembunyi di Gua ........
Di saat Rasulullah SAW sedang keletihan, Abu Bakar menyediakan pangkuannya untuk Rasulullah SAW berbaring. Saat itulah kakinya disengat ular berbisa. Karena kecintaannya yang sangat dalam, ia tidak berani mengeluh ataupun mengaduh, karena khawatir orang yang paling dikasihinya akan terbangun.
Ketika para pemuda Quraisy itu sampai di mulut gua, Abu Bakar kelihatan sangat ketakutan. Maka Nabi pun menenangkannya, karena saat itulah ma’iyatullah (pertolongan Allah) menyertai mereka. “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” – At-Tawbah (9): 40. Lalu Rasulullah SAW berkata, “Hai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu mengenai dua orang yang disertai Allah sebagai Yang ketiga?”
Itulah cinta sejati, perasaan yang benar, dan iman yang dalam, sehingga Abu Bakar selalu dikenal dengan ucapannya yang abadi, “Jika beliau yang mengatakannya, berarti benar.”
Ia membenarkan Rasulullah SAW dalam segala sesuatu dan setuju dengan beliau dalam segala hal. Ia keluarkan harta dalam kecintaannya kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW, sehingga memakai pakaian yang sangat sederhana.
Khadijah RA
Begitu pula Ummul Mu’minin Khadijah RA, yang mulia, wanita agung yang sangat mencintai Rasulullah SAW. Beliaulah insan yang selalu membantu Rasulullah SAW, senantiasa memacu semangatnya untuk tetap berdakwah. Menyelimuti, mengasihi, dan mendukungnya, karena dorongan cinta yang mendalam kepada insan ini, insan yang terpercaya dan jujur.
Ia menuturkan perkataannya yang terkenal, “Bergembiralah, wahai anak pamanku! Teguh hatilah engkau. Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada di tangan-Nya, aku sungguh berharap engkau menjadi nabi dari umat ini. Demi Allah, ia tak akan menghinakanmu selamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang selalu menyambung silaturahim, berbicara benar, menyantuni orang lemah, menjamu tamu, dan menolong untuk hal-hal yang benar.”
Rasulullah SAW pun sangat setia kepadanya. Lihatlah bagaimana beliau membela Khadijah RA ketika Ummul Mu’minin Aisyah, yang cemburu karena beliau sering menyebut Khadijah RA, berkata kepada beliau, “Ia tak lebih hanya seorang wanita tua. Allah telah menggantikan untukmu yang lebih baik daripadanya.”
Berkatalah Rasulullah SAW karena setianya kepada wanita terhormat ini, serta karena mengagungkan dan memuliakannya, “Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku yang lebih baik daripadanya. Ia beriman kepadaku ketika masyarakat tak satu pun yang percaya kepadaku. Ia membenarkanku ketika orang-orang mendustaiku. Ia membantuku ketika orang-orang membiarkanku.” Khadijah RA sangat mencintai beliau, sehingga Allah pun mencintainya dan memuliakannya.
Abu Thalhah
Diriwayatkan, Anas bin Malik RA berkata, “Ketika terjadi Perang Uhud, orang-orang tercerai-berai dari Nabi SAW sedangkan Abu Thalhah tetap berada di hadapan beliau. Ia melindungi beliau dengan tamengnya.”
Abu Thalhah adalah seorang pemanah yang sangat mahir. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW mengintai pasukan musuh, maka berkata Abu Thalhah, “Kupertaruhkan ayah dan ibuku demi engkau! Janganlah engkau mengintai. Aku khawatir panah mereka akan mengenaimu. Biar diriku melindungimu.”
Wanita Anshar
Ada pula seorang wanita Anshar yang ayahnya, saudara laki-laki, serta suaminya gugur, saat Perang Uhud bersama Rasulullah SAW. Ketika orang-orang memberitahukan kematian mereka kepada wanita tersebut, ternyata keselamatan Rasulullah-lah yang lebih menyita pikirannya ketimbang segala yang lain. Sedikit pun ia tidak berpikir tentang musibah yang menimpanya dengan kehilangan anggota keluarganya. Karena itu, ia berteriak, “Di mana Rasulullah?”
Mereka menjelaskan kepadanya, “Alhamdulillah, beliau dalam keadaan baik sebagaimana yang kau inginkan.”
Seketika itu wanita tersebut merasa tenang, meskipun musibah yang menimpanya sangat besar. Ia lalu berkata, “Perlihatkanlah beliau kepadaku agar aku dapat melihatnya.”
Saat ia telah melihat beliau, ia pun mengucapkan kalimatnya yang terkenal bak cahaya, bersinar sepanjang sejarah, menjadi saksai keimanan wanita Anshar ini, “Segala musibah setelahmu adalah kecil, wahai Rasulullah!”
Alangkah luar biasanya gambaran keimanan wanita Anshar ini, yang telah memberikan pelajaran yang sangat mendalam mengenai kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Mush’ab bin Umar
Begitu pula Mush’ab bin Umar, pemuda kota Makkah yang dimanjakan keluarganya, yang gugur syahid pada Perang Uhud ketika ia melindungi Rasulullah SAW dan membelanya dari serangan orang-orang kafir.
Dikisahkan, Mush’ab bin Umair bertempur membela Nabi SAW sampai wafat terbunuh. Orang yang membunuh adalah Bin Qum’ah Al-Laitsi yang menyangka bahwa ia adalah Rasulullah SAW. Maka Bin Qum’ah Al-Laitsi kembali kepada kaum Quraisy seraya berkata, “Aku telah membunuh Muhammad.”
Selanjutnya, setelah Mush’ab bin Umair terbunuh, Rasulullah SAW memberikan bendera (panji-panji perang) kepada Ali bin Abu Thalib. Di masa hidupnya, cinta Mush’ah bin Umair kepada Rasulullah SAW telah memenuhi seluruh rongga dadanya.
Suatu ketika Mush’ab keluar menjumpai beberapa saudaranya seagama yang sedang duduk mengelilingi Rasulullah SAW. Ketika para sahabat melihatnya, mereka pun menundukkan kepala, memejamkan mata, dan air mata menetes dari mata mereka. Mereka melihatnya mengenakan pakaian yang penuh tambalan dan usang, sedangkan sebelumnya ia selalu memakai pakaian yang baru dan cemerlang. Karena ibunya, setelah putus asa untuk membuatnya murtad, mencegahnya dari semua kesenangan yang pernah ia limpahkan kepada Mush’ab setelah ia meninggalkan tuhannya.
Saat itu Nabi SAW melihatnya dengan pandangan kasih dan senyuman yang penuh kerelaan, seraya bersabda, “Aku telah melihat Mush’ah sebelum ini. Tak ada di kota Makkah seorang pemuda pun yang lebih meraih kesenangan dari kedua orangtuanya dibandingkan dia. Lalu ia tinggalkan semua itu karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengubahnya menjadi seperti yang kalian lihat, bahwa ia meninggalkan seluruh perhiasan dunia dan sangat bergantung pada akhirat dan kenikmatannya.” (HR At-Turmudzi dan Al-Hakim).
Zaid bin Ad-Datsanah
Ada pula kisah Zaid bin Ad-Datsanah RA ketika kaum musyrikin menariknya keluar dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan, sebelum masuk Islam, berdiri memperhatikan salah seorang sahabat Rasulullah yang sedang digiring untuk dibunuh itu. Ia berkata, “Bersumpahlah demi Allah, wahai Zaid! Apakah engkau suka jika Muhammad berada di sini menggantikanmu untuk dipenggal lehernya, sedangkan engkau berada di tengah keluargamu?”
Zaid, muslim yang kuat ini, menjawab, “Demi Allah, aku tidak suka jika Muhammad berada di sini, atau apabila ia terkena sepucuk duri saja yang menyakitinya, sedangkan aku duduk di tengah keluargaku. Demi Allah, akut tidak rela.”
Abu Sufyan terheran-heran dengan lelaki yang lebih memilih dibunuh daripada Rasulullah SAW terkena sepucuk duri yang menyakitinya itu. Ia lalu berkata, “Aku belum pernah melihat seorang manusia yang lebih dicintai para sahabatnya sebagaimana Muhammad dicintai sahabat-sahabatnya.”
Abdullah bin Umar
Demikian juga setelah Rasulullah SAW wafat. Ketika Bilal RA datang dari negeri Syam ke kota Madinah setelah Nabi SAW wafat, orang-orang memintanya untuk mengumandangkan adzan bagi mereka sebagaimana yang dilakukannya ketika Rasulullah SAW masih hidup.
Penduduk kota Madinah, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa, berkumpul untuk mendengarkan adzannya. Ketika Bilal mengucapkan Allahu Akbar, Allahu Akbar, semuanya berteriak dan menangis. Sewaktu ia mengucapkan Asyhadu anllailahaillallah, mereka mulai gaduh. Saat ia melafadzkan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, tidak ada seorang pun di Madinah yang tak menangis dan tak berteriak. Para gadis keluar dari kamar-kamar mereka dengan menangis.
Hari itu menjadi seperti hari wafatnya Rasulullah SAW. Semuanya karena mereka teringat dengan masa Nabi SAW yang cemerlang dan bercahaya. Demikian pula dengan Abdullah bin Umar. Ketika nama Rasulullah SAW disebut, ia selalu meneteskan air mata. Dan tidaklah ia melewati rumah Rasulullah SAW melainkan ia pejamkan kedua matanya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab az-Zuhud dengan sanad shahih, saking cintanya kepada Rasulullah SAW, ia selalu mengikuti atsar-atsar (kebiasaan) Rasulullah SAW.
Di setiap masjid, di mana Nabi pernah melakukan shalat di situ, ia pun shalat di situ. Saat berhaji, ketika wuquf di Arafah, ia selalu wuquf di tempat Rasulullah wuquf. Bahkan ia juga selalu memeriksa untanya di setiap jalan yang dilihatnya Rasulullah SAW pernah memeriksa untanya di situ.
Ikrimah bin Abu Jahl
Begitu pula Ikrimah bin Abu Jahl RA, yang selalu setuju dengan Rasulullah SAW dan senantiasa teguh hatinya. Ia gugur pada Perang Yarmuk. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, ia meletakkan kepalanya di atas paha Khalid bin Al-Walid, seraya berkata dengan air mata yang mengalir dari kedua matanya, “Wahai paman, apakah kematian ini membuat Rasulullah ridha kepadaku?” Pada saat kritis seperti itu pun ia teringat Rasulullah SAW, dan keinginannya hanyalah agar Rasulullah SAW ridha kepadanya.
Imam Malik
Demikian pula Imam Malik RA, imam negeri hijrah (Madinah). Dalam biografinya disebutkan, Imam Malik tidak pernah berkendaraan di kota Madinah walaupun telah lemah dan telah tua usianya. Ia mengatakan, “Aku tak mau menaiki kendaraan di kota di mana jasad Rasulullah SAW dikebumikan.” Ini karena penghormatan dan kecintaannya yang begitu besar kepada Rasulullah SAW.
Di antara penghormatan dan pengagungannya yang luar biasa terhadap Nabi adalah sebagaimana yang disebutkan dalam biografinya juga. Jika ingin menyampaikan hadits Rasulullah SAW, ia berwudhu, kemudian duduk di atas tilamnya. Dirapikannya jenggotnya, lalu ia duduk dengan penuh penghormatan dan penuh wibawa, kemudian barulah ia menyampaikan hadits. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, “Aku ingin mengagungkan hadits Rasulullah SAW.”
No comments:
Post a Comment